Kumpulan Cerpen-Cerpen Menarik Sepanjang Masa

ilmubindo.com_ Kali ini admin akan membagikan contoh cerpen yang menarik sepanjang masa. Semoga contoh-contoh cerpen yang admin bagikan ini bermanfaat buat peserta didik yang sedang mencari referensi contoh cerpen-cerpen terbaru seputar materi cerpen. Selamat belajar, dan semoga apa yang kalian cita-citakan dapat tercapai dengan baik. Salam sukses dari admin.

Gunung Kidul

Angin tajam sekali. Kelam menyelimuti teratak doyong itu. Dingin mengempa. Di tengah kemurungan suasana itu, ada hidup di dalam teratak yang ada cahayanya. Teratak itu hanya mempunyai satu ruangan. Tidak ada sekat-sekatnya. Mejanya persis di tengah dengan sebuah kursi panjang bambu. Di sudut tenggara, lantai dari tanah: becek di sekitar tempat sebauh gentong berdiri.
Pada sudut itu disisipkan tiga buah piring seng dan sebuah sendok yang kekuning-kuningan. Pada susdut barat daya, sebuah peti ukuran 1 X 1 X 1 m kubik yang terbuka: sebuah peti beras yang di dalamnya putih, tapi kosong. Hanya ada kutu-kutu yang berkeliaran tak tentu tujuan. Di dekatnya, ada sebuah perapian yang tidak ada apinya. Ada dua potong cabang yang ditusukkan ke dalam lubangnya. Di atasnya, ada kendil hitam yang kosong. Agak jauh sedikit, ada sebuah pengki yang bambunnya sudah busuk. Isinya rumah bekicot yang pecah-pecah, dagingnya sudah hilang.

Kumpulan Cerpen-Cerpen Menarik Sepanjang Masa
 www.ilmubindo.com

Lampu yang terbuat dari botol pomade dengan sumbu dan minyak, menerangi segenap sudut teratak. Juga sudut barat laut. Di sana, ada sebuah bale-bale juga doyong yang di hampari tikar yang lubang-lubangnya sebesar kepala manusia. Di atas bale-bale itulah, Mbok Kromo mengelon Atun, anaknya yang berumur 5 tahun.
"Mbok, maem Mbok, maem," kata anak kecil itu berulang-ulang dan tidak mau tidur. Kemudian ibunya mulai menceritakan lago ongeng "Joko Kendil", yang terlepas dari sengsara dan menjadi orang yang tampan, mujur, kaya, dan bahagia. Tetapi setiap kali ia berhenti bercerita, anaknya merengek-rengek lagi minta makan. Mbok Kromo membayangkan kendilnya di sudut rumah yang kosong.
"Mbok, Bapak mana?" tanya anak itu mengalihkan pertanyaan.
"O, Bapak mencari Joko Kendil. Nanti, ia akan pulang membawa kendil yang berisi nasi."
Anak itu tersenyum puas mendengar kata nasi digabungkan dengan Joko Kendil, pahlawannya. Kemudian, ia mengerak-gerakkan kakinya sambil bermain-main dengan tetek ibunya yang kendur dan kering itu.
Sebentar-bentar, ia menguap, tetapi perutnya tak mengizinkan matanya terkatup. Apalagi ia teringat lagi hal itu, ia mulai lagi merengek-rengek, "Mbok, maem!"
Ibunya menceritakan dongeng Timin Mas, anak gadis seperti Atun yang melarikan diri dari kejaran "buto ijo" dengan membawa tiga benda sakti, yang jika dilemparkan, berubah jadi rintangan yang menghambat dan akhirnya membinasakan raksasa galak itu. Akhirnya di cerita itu ialah Timun Mas kawin dengan pangeran negerinya dengan pesta besar-besaran dengan perjamuan makan lezat dan minum yang segar seperti kelapa muda.
Atun sudah puas sejurus lamanya mengenangkan makanan dan minuman yang enak-enak yang dihidangkan pada pesta perkawinan Timun  Mas. Akan tetapi beberapa saat kemudian, ia mulai lagi mengulangi pertanyaan yang lama, "Mbok, Bapak mana, Mbok?" Maka jawab Mbok Kromo dengan sabar, "O, Bapak pergi ke pesta Timun Mas. Nanti ia pulang membawa berkatan nasi kuning dengan nasi-nasi lezat. Daging gule kambing yang penuh lemak; bukan daging keong yang liat dan apak."
Atun sangat gembira mendengar janji ibunya itu dan makin ribut ia mengerak-gerakkan kakinya sambil memilin-milin puting buah dada ibunya yang lembek. Tetapi akhirnya, ia minta makan juga sambil menguap-nguap mengantuk. Tak lama kemudian dengan sabar ibunya mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan dongeng Si Kancil Cerdik yang diterkam oleh harimau, tetapi dapat menyelamatkan dirinya, karena sedang mengaku menjaga kuil dodol Nabi Sulaiman, padahal yang ada di dekatnya itu tahi kerbau. Pada akhir cerita itu, Atun sudah tidak dapat mengatasi kantuknya lagi dan tertidur sambil berpengan pada ibunya dan mengular kedinginan. Sebentar-sebentar, kesunyian teratak itu diselingi bunyi perut yang menggiling dengan sia-sia.
Desa Padas termasuk daerah yang aman. sebagaimana adat di desa, senantiasa diadakan penjagaan malam juga oleh penduduknya sendiri. Pada jam 12 tengah malam, Simin dan Paidin jaga digardu di sudut desaitu. Mereka sudah membicarakan selamatan yang terakhir diadakan empat bulan sudah mereka tidak diundang keselamatan pada jaman paceklik ini?
Tiba-tiba bulu mereka berdiri, percakapan mereka tercekik oleh ketakutan. Burung kulik-kulik berbunyi sebentar-bentar dengan irama teratur.
"Kulik-kulik, kulik-kulik, kulik-kulik."
Kesunyian sangat menekan ketika burung malam itu berhenti berbunyi. Simin menyentuh bahu Paidin, "Mari jalan-jalan sebentar," ajaknya,"Kalau ada apa-apa kita disalahkan nanti."
"Bagaimana kalau betul ada maling?" tanya Paidin.
Simin berpikir sebentar, tangannya bergerak-gerak kosong seolah-olah mencari senjata.
"Kalau ada pencuri kita berteriak, "Maling, maling!" sampai orang-orang semua keluar. Kalau sudah kita kejar beramai-ramai," katanya kemudian.
Kemudian mereka berjalan dengan hati-hati sambil melemparkan pandangan jalan ke kanan dan ke kiri. Demikian besar kepercayaan mereka pada burung kulik-kulik sehingga mereka tidak heran ketika mendapati seorang laki-laki sedang mencabuti ketela Pak Sardi. Dengan suara mengigil mereka berteriak, "Maling! Maling! Maling!" dan dalam sekejap mata saja desa yang tentram dan damai itu penuh dengan laki-laki yang keluar membawa senjata pukul dan senjata tajam. Pencuri itu berlari sekuat-kuatnya dikejar oleh Simin dan Paidin pada jarak yang cukup. Tetapi akhirnya, seluruh desa berlari di belakang sambil menghamburkan kutukan-kutukan dan maki-makian yang di dalam keadaan biasa akan membuat Tuhan murka. Pemburuan itu tidak lama karena tepat pada pekarangan Pak Kromo, pencuri itu terhuyung-huyung lalu rebah ke tanah. Sebagai air anak sungai yang terjun ke induknya, laki-laki yang banyak itu membanjiri ke tempat pencuri itu jatuh dan mulai menghantam senjata-senjata tumpulnya ke tubuh yang terengah-engah lemah itu. Semua orang mau ikut ambil bagian dalam pemukulan itu. Mereka yang membawa golok, menyisipkannya pada ikat pinggangnya lalu meminjam kayu yang dibawa oleh temannya, dan sambil mencetuskan bunyi 'hih" menjatuhkannya dengan bunyi kelapa jatuh ke badan yang sudah tak bergerak sama sekali itu. Lama-kelamaan setelah hampir seluruh desa mendapat giliran memukul, mereka insaf bahwa orang itu tak bergerak lagi.
"Coba kita lihat apa dia masih hidup," kata Simin dengan khawatir.
"Ya, mari!" kata banyak orang menyambutnya.
"Mari kita minta lampu kepada Pak Kromo!" ada seorang yang mengusulkan. Dan beberapa orang menuju ke pinti Pak Kromodan mengatakan "Kulo Nuwun!"
Pintu Pak Kromo dibukakan sedikit. "Pencurinya sudah tertangkap?" tanya dengan cemas.
"Sudah, itu dia terbaring di tanah kami pukuli. Ia mencuri ketela Pak Sardi. Sampai ia jatuh, ketela itu tidak dilepas-lepaskannya.
Pak Kromo apa tidak ada di rumah? Kami mau pinjam lampu untuk melihat siapa maling itu."
"Bapak pergi tadi sore sampai sekarang belum kembali. Tetapi, lampunya boleh dibawa." Ketika itu Atun merengek-rengek minta digendong. Ia terbangun oleh keributan yang terjadi di dekatnya itu. Dengan menggendong Atun, Mbok Kromo menggikuti orang-orang yang membawa lampunya menuju ke tempat orang-orang itu berkerumun.
Orang-orang menyingkir untuk memberi jalan kepada pemuda yang membawa lampu. Di dalam cahaya lampu itu, tampak badan pencuri itu bengkak, robek-robek serta berlumuran darah, keringat, dan tanah. Orang-orang yang berdekatan menelantangkannya. Lampu itu menyinari wajahnya yang menyeringai menakutkan. Semua orang yang melihat mundur selangkah.
"Ya Allah! ini Pak Kromo!" Kesunyian yang berat menyusul seruan yang menggemparkan itu. Kemudian," Ia sudah mati."
Simin dan Paidin menjauh tak tahan. Namun, mereka juga mendengar ratap Mbok Kromo yang sedang menangis dan mencabuti rambutnya yang terurai, dikelilingi laki-laki yang wajahnya penuh belas kasihan. Semua kayu telah dilemparkan jauh-jauh dan semua pisau dan golok disisipkan di belakang. Tetapi mengatasi suara ibunya, Atun menangis," Bapak, Bapak!"
Keesokan harinya, seluruh desa mengantarkan jenazah Pak Kromo ke kuburan.
2-5-1953
Nogroho Notosusanto, tiga kota


Ibu dan Bangunan Tua

Orang-orang di sekitar, terutama yang wanita menjerit. Aku terkejut dan memeluk ayahku. Ia sudah tak bergerak lagi! Dengus nafasnya sudah tak terdengar lagi. Ia sudah tiada! Ia meninggal di sini tanpa istri dan anak-anaknya yang lain. Ia meninggalkan misi kepada ibuku yang harus memperjuangkan hidup kami, yang masih penuh dengan bimbingan.
Kini ibu berjuang menghidupi kami bertiga. Ayah tidak menikmati hasil perjuangannya ketika pasukan Belanda mundur dari Cirebon dan Indonesia merdeka sepenuhnya!
Orang-orang bergembira. Tentara-tentara kembali dari hutan ke kota. Mereka berjalan dengan gagah, membawa senjata seadanya. Pakaiannya seragam dengan lencana merah putih. Kakakku tertua kembali pula ke rumah.
Bekal pendidikan Ibu dari desa kurang. Hanya kemauan dan bimbingan ayahku selama hidup saja yang memberi semangat Ibu untuk membesarkan anak-anaknya.
"Aku tidak ingin membawa anak-anakku ke desa kembali," ujar ibuku kepada tetangga-tetangga yang datang. "Aku akan membesarkan anak-anakku di kota. Bersekolah dan kelak mereka akan meneruskan perjuangan ayah mereka."
Ibu mulai dengan memperbaiki lubang-lubang bekas tembakan peluru di rumah penginapan tempat usaha ayah yang sering dijadikan pertemuan tokoh-tokoh politik, lalu memperbaiki kasur, ranjang, dan kamar yang rusak karena ditempati tentara-tentara.
Kami mulai makan dengan beras jagung. Kami mulai dengan pakaian tambal-tambal bekas jahitan. Ibu mulai menjahit dan mendatangkan saudaranya dari kampung untuk membantu mengurus segala hal untuk perusahaan ini.
Banyak yang dilakukan ibuku untuk menghidupi anak-anaknya menghadapi zaman darurat ini. Membuka kamar murah hanya menghampar tikar. Kadang-kadang Ibu sampai malam hari menjahit pakaian dan menjualnya di pasar-pasar, juga menitipkan barang dagangan kepada anak-anaknya untuk dijual di sekolah.
Dari hasil inilah kami melata. Aku senang melihat ibuku membangun kembali perusahaan ayah, sebuah penginapan, berupa bangunan tua dengan kamar-kamar sederhana. 
Orang-orang tadinya mencela dan meragukan Ibu yang masih belum cukup pengalaman, berasal dari desa, sekolah pun tak sampai tamat, bisa membangun kembali puing-puing perusahaan Ayah akibat perang. Akan tetapi, kemajuan demi kemajuan terjadi. Penghasilan dari losmen inilah yang membiayai kami sekolah.
Malam itu kudapati Ibu yang kian berkerut karena menghadapi berbagai kesulitan, merenung di kamarnya.
"Kau tidak usah ikut gundah, Nak," ujarnya ketika ia mengetahui wajahku penuh tanda tanya.
"Aku harus tahu kesulitan Ibu," jawabku perlahan. Ibu menarik nafas panjang.
"Baiklah," akhirnya ibuku memutuskan. "Kau tahu Nak, penginapan kita terletak di dekat stasiun kereta api?"
"Ya, Bu. Tamu-tamu juga kebanyakan dari sana," jawabku.
"Nah. Dalam waktu dekat kita harus berjuang hebat lagi. Kita sekarang mendapat saingan begitu hebat dari losmen dan hotel-hotel baru. Kita ketinggalan karena rumah kita sudah terlampau tua. Susah lagi kita mencari tamu dan mengandalkan pada perusahaan ini."
Tapi karena keuletan Ibu, losmen kita maju dibanding yang lain.

Dikutip dari "Tayuban"
dalam kumpulan cerpen Tiga Kota,
karya Nugroho Notosusanto

Ibuku Sekuntum Cempaka dari Kepur 

Aku mengangguk. Sejak mendengar ibuku menangis tengah malam, gara-gara Nenek tidak menyukainya di rumah ini, tindakanku selalu ragu-ragu. Aku takut dimarahi Nenek. Belakangan ini nenekku sangat cerewet. Seolah-olah beliau menghendaki kami segera meninggalkan rumah limas besar. Nenek tidak mau diganggu. 
"Maman, kau belum mengambil keranjang rotan yang tergantung itu?"
Aku menggelang.
"Ambil kursi!"
Aku berlari ke arah kursi setelah memahami maksudnya. Ia menuyuruhku mengambil keranjang rotan. Nenek tidak mau lagi menolongku. Dengan susah payah aku menyeret kursi berukir dekat meja makan ke bawah keranjang rotan.
"Hati-hati, Maman, nanti lecet kursi antikku!" pekik Nenek.
Aku menoleh dan kulihat muka Nenek tidak manis, justru masam. Mengapa Nenek memusuhi aku? Apakah kesalahanku selama ini? Hatiku menjadi sedih. Saat itu aku ingin sekali dekat dengan Ibu.
Lepas magrib Ibu dan Ayah pulang dari sawah Nenek dan Kakek. Keduanya membantu mengolah sawah tanpa mendapat bagian padi. Hal ini termasuk kewajiban anak dan menantu di dalam keluarga.
"Kau sudah makan, Maman?" tanya Ibu begitu tiba di rumah.
"Belum, Bu."
"Belum? Mengapa?
"Nenek tidak mau menolong mengambilkan keranjang. Aku sendiri tidak dapat menjangkau tempat makanku. Nenek menyuruhku menggunakan kursi antiknya, tetapi aku tidak boleh menyeret benda mahal itu. Kata Nenek, kursi antiknya tidak boleh lecet."
"Tak apa-apa, nenekmu sedang sakit, Nak."
Sekali lagi ibuku memaafkan tindakan Nenek meskipun mengetahui buah hatinya kelaparan sejak pukul 6 pagi sampai lepas magrib. Ibu memelukku kuat-kuat sambil membisikkan kata-kata manis untuk menghibur hatiku yang tersinggung. "Man, jangan kau ceritakan kepada ayahmu kejadian di rumah hari ini, ya sayang?"
"Mengapa, Bu?"
"Kasihan ayahmu lelah di sawah. Jangan kau susahkan hatinya. Kita tidak boleh menambah berat bebannya."
"Buuu ...," aku tidak melanjutkan kalimatku.
"Hmmm, apa, Nak?"
"Oh, tidak, Bu, tak apa-apa."
Keesokan harinya, usai salat subuh kudengar orang bertengkar di paun. Yang disebut paun oleh penduduk dusun Tanjung Serian ialah seluruh ruangan yang ada di sekitar dapur. Aku berlari ke pintu tengah, antara ruang besar dan paun. kulihat Nenek berkacak pinggang sedang memberondong Ayah dengan kata-kata pedas dan kasar.
"Keluarkan ranjang jati dari kamar yang kalian tunggu!"
"Baik, sekarang juga aku akan keluarkan."
Ayah bergegas menuju kamar yang mereka tunggu. Ibu terkejut.
"Ada apa, Abang?"
"Mak meminta ranjang jati ini, Rum."
"Oh ya, kasihan saja, Bang." Suara Ibu tetap tenang.
Aku tidak melihat suatu perubahan pada air mukanya. Ucapannya sesuai dengan kata hatinya.Nenek menuju kamar yang ditempati ayah dan ibu. Sambil berkacak pinggang, dia membentak, "Segera keluarkan ranjang jati itu!"
Hari itu kakek sedang ke kota Palembang menemui sahabatnya, seorang pedangang tembakau yang kaya raya. Mereka akan kerja sama mendirikan perusahaan angkutan.
Ayah membongkar ranjang jati yang mereka pakai sejak menikah 10 tahun yang lalu. Aku pun lahir di ranjang itu. Ibu melipat selimut dan kain seprei tanpa rasa masgul, tanpa sakit hati, karena ranjang jati yang bagus itu memang bukan kepunyaan ibu dan ayah.
"Kakek kan baik pada Ibu."
"Semua isi rumah ini baik pada kita, Nak."
"Nenek?"
"Nenekm pun baik."
"Nenek ..., baik. Bu?" desakku.
"Memang baik, Man."
Aku tegang. Di mana pun berada ibuku tidak pernah menjelek-jelekkan mertuanya.

Dikutip dari Kumpulan Cerpen Ibu,
pengarang Aksara
Permintaan Ibu Tercinta

Tiga hari tak terasa telah berlalu. Liburan Narti akan segera berakhir. Dan ia harus segera kembali ke Bandung. Sebenarnya Narti masih ingin tinggal lama di kampung menemani ibunya, tapi pekerjaan telah menunggunya, ia harus segera kembali. Ia merupakan satu-satunya tumpuan hidup ibu dan adik-adiknya, sebagai anak paling besar ia berkewajiban memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiknya, karena hanya dia anak satu-satunya yang telah berpenghasilan.
Pagi itu Narti sudah berkemas dan siap untuk pergi. Seperti layaknya seorang anak yang berbakti ia berpamitan dengan ibunya. "Bu, aku mau balik ke Bandung, doakan aku agar selalu dalam lindungan-Nya, agar aku bisa menjalani perintah Tuhan, dan selalu ingat nasehat Ibu," ujar Narti.
"Tentu saja, Nak, Ibu akan selalu mendoakanmu. Tapi sebelum kamu pergi, ada yang Ibu mau tanyakan kepadamu," ujar ibunya.
"Memangnya ada apa, Bu," Narti merasa heran.
"Nak, apakah kamu tidak menyadari, bahwa usiamu semakin bertambah, apakah kamu sudah memikirkan calon pendamping hidupmu? Aku sudah tak sabar ingin mendapatkan cucu darimu, Nak," dengan hati-hati ibunya mengungkapkan keinginan yang selama ini terpendam.

Cerpen Zaini"zai" Ahmad

Mbok Jah

Sudah dua tahun, baik pada lebaran maupun Sekaten, Mbok Jah tidak "turun gunung" keluar dari desanya di bilangan Tepus, Gunung Kidul untuk berkunjung ke rumah bekas majikannya, keluarga Mulyono di kota. Meskipun sudah berhenti karena usia tua dan capek menjadi pembantu, Mbok Jah tetap memelihara hubungan yang baik dengan seluruh anggota keluarga itu. Dua puluh tahun telah dilewatinya untuk bekerja sebagai pembantu di rumah keluarga yang sederhana dan sedang-sedang saja kondisi ekonominya. Gaji yang diterimanya tidak pernah tinggi, cukup saja, tetapi perlakuan yang baik dari seluruh keluarga itu telah memberi rasa aman, tenang, dan tenteram.
Buat seorang janda yang sudah terlalu tua untuk itu, apalah yang dikehendaki lagi selain atap untuk berteduh dan makan serta pakaian yang cukup. Lagi pula anak tunggalnya yang tinggal di Surabaya dan menurut kabar hidup berkecukupan, tidak mau lagi berhubungan dengannya. Tarikan dan pelukan istri dan anak-anaknya rupanya begitu erat melengket hingga mampu melupakan ibunya sama sekali. Tak apa, hiburnya. Di rumah keluarga Mulyono ini dia merasa mendapat semuanya. Akan tetapi, waktu dia mulai merasa semakin renta, tidak sekuat sebelumnya, Mbok Jah merasa dirinya menjadi beban keluarga itu. Dia merasa menjadi buruh tumpangan gratis dan harga dirinya memberontak terhadap keadaan itu. Diputuskannya untuk pulang ke desanya.
Dia masih memiliki warisan sebuah rumah desa yang meskipun sudah tua dan tidak terpelihara akan dapat dijadikannya tempat tinggal di hari tua. Dan juga tegalan barang sepetak dua petak masih ada juga. Pasti semuanya itu dapat diaturnya dengan anak jauhnya di desa. Pasti mereka semuanya dengan senang hati akan menolongnya mempersiapkan semua itu. Orang desa semua tulus hatinya. Tidak seperti kebanyakan orang kota, pikirnya. Sedikit-sedikit duit, putusnya.
Maka dikemukakannya ini kepada majikannya, Majikannya beserta seluruh anggota keluarganya yang hanya terdiri dari suami istri dan dua orang anak protes keras dengan keputusan Mbok Jah. Mbok Jah sudah menjadi bagian yang nyata dan hidup sekali di rumah tangga ini, kata Ndoro Putri. Selain itu, siapa yang akan mendampingi si Kedono dan si Kedini yang sudah beranjak dewasa., desah Ndoro Kakung. "Wah sepi lho, Mbok, kalau tidak ada kamu. Lagi, pula siapa yang dapat bikin sambel terasi yang begitu sedap selain kamu, Mbok " tukas Kedini dan Kedono.
Pokoknya keluarga majikan tidak mau ditinggalkan oleh Mbok Jah. Tetapi, keputusan Mbok Jah sudah mantap. Tidak mau menjadi beban sebagai kuda tua yang tidak berdaya. Hingga jauh malam mereka tawar-menawar. Akhirnya, diputuskan suatu jalan tengah. Mbok Jah akan turun gunung dua kali dalam setahun, yaitu pada waktu Sekaten dan waktu Idul Fitri.
Mereka lantas setuju dengan jalan tengah itu. Mbok Jah menepati janjinya. Waktu Sekaten dan Idul Fitri, dia memang datang. Seluruh keluarga Mulyono senang setiap kali dia datang. Bahkan, Kedono dan Kedini selalu rela ikut menemaninya duduk-duduk menglesat di halaman masjid kraton untuk mendengarkan suara gamelan Sekaten yang hanya bersembunyi tang-tung-tang-tung-grombyang itu. Malah lama kelamaan mereka dapat ikut larut dan menikmati suana Sekaten di amsjid itu.
"Kok suaranya aneh ya, mbok. Tidak seperti gamelan kelenengan biasanya."
"Ya, tidak Gus, Den Rara. Ini gending keramatnya Kanjeng Nabi."
"Lha, ya tidak. Kalau mau mendengarkan dengan nikmat, pejamkan mata kalian. Nanti kalian akan dapat masuk.'
Mereka menurut. Dan betul saja, lama-lama suara gemelan Sekaten itu enak juga didengar.
Selain Sekaten dan Idul Fitri itu, peristiwa menyenangkan dengan kedatangan Mbok Jah ialah oleh-oleh Mbok Jah dari desa. Terutama jadah yang halus, bersih, dan gurih. Kehebatan Mbok Jah menyambal terasi pun juga tak kunjung surut.

Dikutip dari Buku Kreatif Berbahasa dan Bersastra Indonesia. 
Penerbit:Ganeca

                               
Kenangan Tentang Bunda

Brek! Via menghempaskan tubuhnya di tempat tidur. Air matanya meleleh membasahi bantal. Hati via betul-betul terluka mendengar omongan Bi Jum.
"Lo, kenapa menangis?" tanya Eyang Putri cemas. Belau meletakkan obat dan segelas air putih di meja. Via diam tidak menjawab. Isaknya semakin jelas terdengar.
"Eyang, benarkah Bunda tidak mau mengurus, Via?" tanyanya terpatah-patah.
"Siapa bilang?" kata Eyang.
"Tadi di Puskesmas Bi Jum bercerita pada orang-orang. Katanya Bunda tidak mau mengurus Via. Bunda sibuk berkarier. Itulah sebabnya Via diasuh Eyang."
Eyang mengangguk-angguk mulai memahami persoalan  Via. Namun, beliau belum menanggapi pertanyaan cucunya.
"Minum obat dulu, ya. Nanti kita bicarakan hal ini," bujuk Eyang seraya membantu Via minum obat. Sesekali terdengar helaan nafas panjangnya.
Pagi tadi Eyang menyuruh Bi Jum, pembantunya mengantar Via berobat ke Puskesmas. Sudah dua hari Via pilek. Biasanya Eyang sendiri yang mengantar Via berobat. Namun tetangga sebelah meninggal. Eyang melayat ke tetangga sebelah.
"Benarkah Bunda tidak mau mengasuh Via, Eyang?" desak Via penasaran.
Eyang menatap lembut cucunya yang sedang sedih dan gelisah. Dengan penuh kasih sayang tangannya yang keriput membelai Via.
"Apakah Via merasa begitu?"
Via termenung. Ya, seperti ucapan Bi Jum ada benarnya juga. Bude Laras dan Bulik Prita, saudara Bunda mengasuh sendiri anak-anaknya. Meskipun mereka berdua juga bekerja di kantor. Sementara Via diasuhb Eyang.
"Bingung, ya? Via, umumnya seorang anak memang tinggal bersama orang tuanya. Namun karena alasan tertentu, ada juga anak yang tinggal dengan orang lain."
"Dan alasan itu karena mereka tidak mau repot mengasuh anaknya, kan?" potong Via sengit.
"Mmm, sebaiknya Via cari tahu sendiri ya, jawabannya. Nanti Eyang beritahu caranya.
Via menatap Eyang tak berkedip. Dengan seyum tak tersunggingdi bibir, Eyang beranjak mengambil kertas dan bolpoin.
"Dulu, kalau Eyang kecewa terhadap seseorang, Eyang menulis semua hal tentang orang tersebut. Semua kenangan yang manis ataun pun yang tidak menyenangkan. Biasanya begitu selesai menulis, hati Eyang lega. Pikiran pun menjadi jernih. Sehingga Eyang bisa menilai orang itu dengan tepat. Via mau mencoba cara ini? Tulisan kenangan tentang Bunda. Mudah-mudahan Via akan menemukan jawaban. Eyang ke dapur dulu, ya."
Begitu Eyang berlalu, Via meremas  kertas. Untuk apa menulis kenangan tentang Bunda? Bikin tambah kesal saja. Plung! Via melempar kertas ke tempat basah.
Langit begitu biru. Via menatap gumpalan awan putih yang berarak. Dulu Bunda bercerita awan itu berlari karena takut digelitik angin. Kenangan Via kembali ke masa kecil. Bunda selalu mendongeng menjelang tidur. Bunda selalu memandikan dan menyuapinya. Tugas itu tidak pernah digantikan pembantu, meskipun Bunda juga bekerja di kantor.
Tiba-tiba jam kerja Bunda bertambah , karena hari Sabtu libur. Bunda tiba di rumah paling awal pukul 17.20. Kini Via lebih banyak bersama pembantu. Suatu ketika Bunda pulang lebih awal karena tidak enak badan. Saat itu waktu buat Via tidur siang. Namun pembantu mengajaknya main ke rumah tetangga. Bunda marah dan pembantu ketakutan maka pembantu itu memilih untuk keluar.
Sambil menunggu pembantu baru, Via ikut Bunda ke kantor sepulang sekolah. Mula-mula semua berjalan lancar. Lalu Via mulai sakit-sakitan. Akhirnya ia harus opname. Dokter menduga Via kurang istirahat dan makan kurang teratur. Bunda menangis mendengarnya. Ia merasa bersalah.
Eyang datang menawarkan diri mengasuh Via di Salatiga. Via senang sekali. Ia tidak akan kesepian karena banyak sepupunya yang tinggal tidak jauh dari rumah Eyang. Sebetulnya Bunda keberatan. Namun demi kebaikan Via, Bunda pun rela.
Setiap awal bulan Ayah dan Bunda bergantian ke Salatiga. Biasanya mereka tiba Minggu pagi. Sore harinya mereka sudah kembali ke Bandung, karena besok paginya harus ke kantor. Bunda pun selalu menyempatkan diri mengambil rapor Via atau menemani Via ikut piknik sekolah. Saat ulang tahun Via, Ayah dan Bunda cuti untuk merayakannya bersama.

Oleh: Mudjibah Utami


Lagu di Atas Bis

Sebuah buu malam jarak jauh meluncur dalam kecepatan sedang-sedang saja. Para penumpang baru berhenti untuk makan pada pertengahan perjalanan di tempat persinggahan bus-bus malam. Pohon tumbuh menyungkup sepanjang jalan, seolah mereka dengan senter di tangan berlari di antara dua deretan pohon. Dari dalam rumah penduduk di antara gelap pohon, di kiri kanan jalan muncul sekali-kali kerlip cahaya dari rumah penduduk. Selebihnya adalah sorot lampu bus yang menerangi kegelapan aspal yang terentang tak pernah habis. Lampu bus itu tidak ubahnya sepotong kapur tulis mencoreng di atas papan hitam di depan kelas.
Orang-orang di dalam bus itu tidak tertidur. Mereka merasa segar, karena mereka baru saja selesai makan makan malam di tengah perjalanan mereka. Sopir menghidupkan tape recorder. Para penumpang mendengarkan lagu yang berkumandang sambil berlena-lena. Tetapi di tengah-tengah lagu itu, terdengar orang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar? Saya ingin mendengarkan lagu jazz," kata penumpang yang lain.
"Tetapi saya tidak punya kaset jazz!" kata sopir.
"Aku membawa kaset lagu yang aku minta!" orang yang meminta lagu jazz mengeluarkan kaset jazz dari dalam sakunya dan berkumandanglah lagu jazz.
Tetapi, baru beberapa detik saja lagu itu berkumandang, terdengar pula orang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar?" kata penumpang yang berteriak itu kepada orang yang meminta lagu jazz.
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu jazz itu.
"Saya ingin lagu disko," kata orang yang meminta lagu disko itu supaya diganti.
Tolong Pak Sopir,' kata orang yang meminta lagu disco tadi. "Bapak ini tidak suka dengan lagu kesenangan saya. Dia minta ditukar dengan irama disko."
"Tetapi saya tidak punya kaset disko!" kata sopir.
"Saya punya. Saya membawa kaset kesenangan saya!" kata orang itu. 
Dia pun mengeluarkan kaset dari dalam sakunya. Kemudian mengumandangkan pula lagu disko.
Para penumpang mendengarkan lagu itu hanya beberapa detik saja, sebab terdengar pula orang berteriak dari bangku yang lain.
"Bolehkah lagu itu di tukar?"
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu disko.
"Saya ingin lagu keroncong." Kata orang yang berteriak tadi.
"Tolong Pak Sopir, Bapak ini tidak suka dengan lagu disko kesenangan saya. Dia minta lagu keroncong." kata orang yang berteriak disko.
"Tetapi saya tidak punya kaset keroncong!" kata sopir.
"Saya punya. Saya membawa kaset kesenangan saya!" orang itu mengambil kaset dari dalam saku bajunya. Kemudian mengumandangkan lagu irama kerocong.
Para penumpang mendengarkan lagu itu hanya beberapa saat saja. 
Seseorang berteriak pula dari bangku yang lain.
"Bolehkah lagu itu ditukar?"
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu keroncong.
"Saya ingin lagu dangdut.'
"Tetapi saya tidak punya kaset dangdut!" kata sopir.
"Saya punya. Saya membawa kaset kesenangan saya!" Orang itu mengambil kaset dari dalam saku bajunya. Kemudian mengumandang lagu dangdut.
Para penumpang mendengar lagu itu. Tetapi beberapa saat kemudian, terdengar pula seseorang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar?"
"Boleh!" kata orang yang meminta lagu dangdut.
"Saya ingin lagu pop Indonesia."
"Tolong Pak Sopir, Bapak ini tidak suka dengan lagu dangdut kesenangan saya. Dia minta ditukar dengan lagu pop Indonesia."
"Tetapi saya tidak punya kaset pop Indonesia!" kata sopir.
"Saya punya. Saya selalu membawa kaset lagu kesukaan saya!"
Orang itu mengambil kaset dari dalam saku bajunya. Kemudian mengumandang lagu pop Indonesia. Tetapi baru saja lagu itu mengumandang, terdengar pula seseorang berteriak.
"Bolehkah lagu itu ditukar?"
"Boleh!" kata orang meminta lagu pop Indonesia.
"Saya ingin lagu gending Jawa."
"Tolong Pak Sopir, bapak ini tidak suka lagu pop Indonesia, padahal lagu itu kesukaan saya. Dia minta ditukar dengan gending Jawa."
"Tetapi saya tidak punya kaset gending Jawa!" kata sopir.
"Saya punya. Saya tidak pernah meninggalkan kaset gending Jawa, setiap saya bepergian kaset ini selalu saya bawa. Ini kaset lagu kesukaan saya, gending Jawa!"
Demikianlah seterusnya, para penumpang itu meminta setiap lagu yang diputar diganti. Tiba-tiba ada orang berteriak.
"Bolekah lagu itu ditukar?" kata orang yang berseragam hijau. Dia membawa pistol dua.
Orang yang meminta lagu-lagu mars perjuangan melihat kepadanya. Tetapi pada akhirnya dia berkata:
"Boleh! Mengapa tidak? Boleh! Lagu itu boleh ditukar."
"Saya ingin diputar lagu Indonesia Raya!" katanya.
"Tolong Pak Sopir. Bapak ini tidak suka lagu mars perjuangan.
Padahal lagu itu menimbulkan semangat perjuangan pada saya. Bapak ini minta diputar lagu Indonesia raya.
"Tetapi saya tidak punya kaset Indonesia Raya."
"Kaset lagu apa saja yang kamu punya?" kata orang yang berseragam hijau lengkap dengan dua pistol di pinggangnya.
Sopir membongkar seluruh kaset di dalam laci.
"Kau harus punya kaset Indonesia Raya. Cari! dan mesti kau dapatkan!"
Sopir terus membongkar semua kaset. Dan dia menemukan kaset lagu Indonesia Raya di antara kaset yang ia bawa.
"Saya punya kaset Indonesia Raya!" teriak sopir gembira.
"Putar! Saya suka lagu Indonesia Raya!" kata orang yang berseragam hijau lengkap dengan dua pistol di pinggang "Tetapi teliga saya sakit mendengarnya!" kata orang yang berseragam hijau dengan tiga pistol di pinggangnya.
"Apa katamu? Sakit telingamu, katamu? Berarti kau tidak cinta tanah air!"
"Tetapi, tidak saatnya lagu kebangsaan itu diputar sekarang!"
"Sekarang adalah saatnya! Tidak kau lihat mereka sudah berkelahi. Masing-masing meminta lagu daerah mereka sendiri-sendiri."
"Tetapi telinga saya sakit mendengar lagu Indonesia Raya itu."
"Berarti kau penghianat! Kau boleh keluar dari bis ini!"
"Tetapi ...," kata orang berseragam hijau dengan tiga pistol di pinggangnya.
"Tetapi, kau sudah membayar ongkos? Itu maksudmu? Kata orang yang berseragam hijau dengan dua pistol di pinggangnya.
"Ya! Saya sudah membayar ongkos!"
"Saya akan ganti uang sisa ongkos perjalananmu. Kau boleh turun. Dan naik bis yang lain. Lagu Indonesia Raya ini harus mengumandang sampai tujuan kita berakhir. Kalau tidak suka, kau boleh keluar! Tidak ada tempat untuk orang yang tidak suka pada lagu kebangsaannya sendiri. Siapa yang tidak suka dengan lagu ini?"
"Saya suka!" kata orang yang berseragam hijau dengan sebuah pistol dipinggangnya. Mereka berdua menjadi memiliki tiga pistol.
Orang yang memakai seragam hijau lengkap dengan dua pistol di pinggangnya berdiri di atas tempat duduknya. Dia diikuti orang berseragam dengan satu pucuk pistol di pinggangnya.
"Cepat katakan! Siapa yang tidak suka dengan lagu ini?" teriak orang yang berseragam dengan dua pistol di pinggangnya.
"Tidak ada tempat bagi penghianat di bis ini!"
Semua orang diam. Termasuk orang yang memakai seragam dengan tiga pistol di pinggangnya. Dan lagu Indonesia Raya itu berkumandang sepanjang perjalanan, sampai mereka tiba di terminal terakhir.