ilmubindo.com | Pada kesempatan kali ini kita akan membahasa tentang cara mengidentifikasi unsur-unsur pembangun teks cerpen. Semoga apa yang admin bagikan in dapat membantu anak didik dalam mencari referensi tentang cara mengidentifikasi unsur-unsur pembangun teks cerpen. Dan harapannya apa yang admin bagikan ini dapat memberikan dampak positif yang baik bagi perkembangan belajar anak didik di sekolah, khususnya dalam cara mengidentifikasi unsur-unsur pembangun teks cerpen.
Unsur pembangun teks cerpen terbentuk atas lima komponen yang saling berkaitan. Lima unsur itu adalah tema, penokohan, latar, sudut pandang, dan alur. Kelima unsur tersebut sering disebut sebagai unsur intrinsik cerita.
www.ilmubindo.com
Daya pikat sebuah teks cerpen sangat ditentukan oleh keterampilan sang penulis dalam menyatukan unsur-unsur cerita di atas. Dengan demikian, teks cerpen mampu merangsang minat pembaca untuk mengetahui jalan cerita selanjutnya.
Berikut ini adalah penjelasan unsur-unsur pembangun teks cerpen.
1. Tema Cerita
Tema
merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra. Tema
menjadi dasar pengembangan seluruh cerita. Oleh karena itu, tema
bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu. Sebagai contoh, sebuah
cerpen dapat bertema keadilan, persahabatan, atau kecerdikan.
2. Alur Cerita
Alur cerita adalah peristiwa yang jalin-menjalin berdasarkan urutan atau hubungan tertentu. Sebuah rangkaian peristiwa dapat terjadi berdasar urutan waktu, urutan kejadian, atau hubungan sebab-akibat. Jalinan berbagai peristiwa, baik secara lurus maupun secara sebab-akibat membentuk satu kesatuan yangb utuh, padu, dan bulat dalam suatu prosa fiksi.
3. Penokohan
Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif. Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang bagaimana watak tokoh tersebut. Penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita pun dijelaskan sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
4. Latar
Latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi. Latar terbagi tiga, yaitu sebagai berikut.
- Latar Tempat yaitu latar tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritkan dalam karya fiksi.
- Latar Waktu yaitu berhubungan dengan masalah "kapan" menunjuk pada waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
- Latar Sosial yaitu mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara penulis memandang tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu. Umumnya penulis menempatkan diri pada posisi orang ketiga dengan menggunakan kata ganti dia atau orang pertama dengan menggunakan kata ganti orang pertama aku atau saya.
Contoh Teks Cerpen
Cerpen 1
Ibu dan Bangunan Tua
Orang-orang
di sekitar, terutama yang wanita menjerit. Aku terkejut dan memeluk
ayahku. Ia sudah tak bergerak lagi! Dengus nafasnya sudah tak terdengar
lagi. Ia sudah tiada! Ia meninggal di sini tanpa istri dan anak-anaknya
yang lain. Ia meninggalkan misi kepada ibuku yang harus memperjuangkan
hidup kami, yang masih penuh dengan bimbingan.
Kini
ibu berjuang menghidupi kami bertiga. Ayah tidak menikmati hasil
perjuangannya ketika pasukan Belanda mundur dari Cirebon dan Indonesia
merdeka sepenuhnya!
Orang-orang
bergembira. Tentara-tentara kembali dari hutan ke kota. Mereka berjalan
dengan gagah, membawa senjata seadanya. Pakaiannya seragam dengan
lencana merah putih. Kakakku tertua kembali pula ke rumah.
Bekal
pendidikan Ibu dari desa kurang. Hanya kemauan dan bimbingan ayahku
selama hidup saja yang memberi semangat Ibu untuk membesarkan
anak-anaknya.
"Aku
tidak ingin membawa anak-anakku ke desa kembali," ujar ibuku kepada
tetangga-tetangga yang datang. "Aku akan membesarkan anak-anakku di
kota. Bersekolah dan kelak mereka akan meneruskan perjuangan ayah
mereka."
Ibu
mulai dengan memperbaiki lubang-lubang bekas tembakan peluru di rumah
penginapan tempat usaha ayah yang sering dijadikan pertemuan tokoh-tokoh
politik, lalu memperbaiki kasur, ranjang, dan kamar yang rusak karena
ditempati tentara-tentara.
Kami
mulai makan dengan beras jagung. Kami mulai dengan pakaian
tambal-tambal bekas jahitan. Ibu mulai menjahit dan mendatangkan
saudaranya dari kampung untuk membantu mengurus segala hal untuk
perusahaan ini.
Banyak
yang dilakukan ibuku untuk menghidupi anak-anaknya menghadapi zaman
darurat ini. Membuka kamar murah hanya menghampar tikar. Kadang-kadang
Ibu sampai malam hari menjahit pakaian dan menjualnya di pasar-pasar,
juga menitipkan barang dagangan kepada anak-anaknya untuk dijual di
sekolah.
Dari
hasil inilah kami melata. Aku senang melihat ibuku membangun kembali
perusahaan ayah, sebuah penginapan, berupa bangunan tua dengan
kamar-kamar sederhana.
Orang-orang
tadinya mencela dan meragukan Ibu yang masih belum cukup pengalaman,
berasal dari desa, sekolah pun tak sampai tamat, bisa membangun kembali
puing-puing perusahaan Ayah akibat perang. Akan tetapi, kemajuan demi
kemajuan terjadi. Penghasilan dari losmen inilah yang membiayai kami
sekolah.
Malam itu kudapati Ibu yang kian berkerut karena menghadapi berbagai kesulitan, merenung di kamarnya.
"Kau tidak usah ikut gundah, Nak," ujarnya ketika ia mengetahui wajahku penuh tanda tanya.
"Aku harus tahu kesulitan Ibu," jawabku perlahan. Ibu menarik nafas panjang.
"Baiklah," akhirnya ibuku memutuskan. "Kau tahu Nak, penginapan kita terletak di dekat stasiun kereta api?"
"Ya, Bu. Tamu-tamu juga kebanyakan dari sana," jawabku.
"Nah.
Dalam waktu dekat kita harus berjuang hebat lagi. Kita sekarang
mendapat saingan begitu hebat dari losmen dan hotel-hotel baru. Kita
ketinggalan karena rumah kita sudah terlampau tua. Susah lagi kita
mencari tamu dan mengandalkan pada perusahaan ini."
Tapi karena keuletan Ibu, losmen kita maju dibanding yang lain.
Dikutip dari "Tayuban"
dalam kumpulan cerpen Tiga Kota,
karya Nugroho Notosusanto
Cerpen 2
Ibuku Sekuntum Cempaka dari Kepur
Aku mengangguk. Sejak mendengar ibuku menangis tengah malam, gara-gara Nenek tidak menyukainya di rumah ini, tindakanku selalu ragu-ragu. Aku takut dimarahi Nenek. Belakangan ini nenekku sangat cerewet. Seolah-olah beliau menghendaki kami segera meninggalkan rumah limas besar. Nenek tidak mau diganggu.
"Maman, kau belum mengambil keranjang rotan yang tergantung itu?"
Aku menggelang.
"Ambil kursi!"
"Maman, kau belum mengambil keranjang rotan yang tergantung itu?"
Aku menggelang.
"Ambil kursi!"
Aku
berlari ke arah kursi setelah memahami maksudnya. Ia menuyuruhku
mengambil keranjang rotan. Nenek tidak mau lagi menolongku. Dengan susah
payah aku menyeret kursi berukir dekat meja makan ke bawah keranjang
rotan.
"Hati-hati, Maman, nanti lecet kursi antikku!" pekik Nenek.
Aku
menoleh dan kulihat muka Nenek tidak manis, justru masam. Mengapa Nenek
memusuhi aku? Apakah kesalahanku selama ini? Hatiku menjadi sedih. Saat
itu aku ingin sekali dekat dengan Ibu.
Lepas
magrib Ibu dan Ayah pulang dari sawah Nenek dan Kakek. Keduanya
membantu mengolah sawah tanpa mendapat bagian padi. Hal ini termasuk
kewajiban anak dan menantu di dalam keluarga.
"Kau sudah makan, Maman?" tanya Ibu begitu tiba di rumah.
"Belum, Bu."
"Belum? Mengapa?
"Nenek
tidak mau menolong mengambilkan keranjang. Aku sendiri tidak dapat
menjangkau tempat makanku. Nenek menyuruhku menggunakan kursi antiknya,
tetapi aku tidak boleh menyeret benda mahal itu. Kata Nenek, kursi
antiknya tidak boleh lecet."
"Tak apa-apa, nenekmu sedang sakit, Nak."
Sekali
lagi ibuku memaafkan tindakan Nenek meskipun mengetahui buah hatinya
kelaparan sejak pukul 6 pagi sampai lepas magrib. Ibu memelukku
kuat-kuat sambil membisikkan kata-kata manis untuk menghibur hatiku yang
tersinggung. "Man, jangan kau ceritakan kepada ayahmu kejadian di rumah
hari ini, ya sayang?"
"Mengapa, Bu?"
"Kasihan ayahmu lelah di sawah. Jangan kau susahkan hatinya. Kita tidak boleh menambah berat bebannya."
"Buuu ...," aku tidak melanjutkan kalimatku.
"Hmmm, apa, Nak?"
"Oh, tidak, Bu, tak apa-apa."
Keesokan
harinya, usai salat subuh kudengar orang bertengkar di paun. Yang
disebut paun oleh penduduk dusun Tanjung Serian ialah seluruh ruangan
yang ada di sekitar dapur. Aku berlari ke pintu tengah, antara ruang
besar dan paun. kulihat Nenek berkacak pinggang sedang memberondong Ayah
dengan kata-kata pedas dan kasar.
"Keluarkan ranjang jati dari kamar yang kalian tunggu!"
"Baik, sekarang juga aku akan keluarkan."
Ayah bergegas menuju kamar yang mereka tunggu. Ibu terkejut.
"Ada apa, Abang?"
"Mak meminta ranjang jati ini, Rum."
"Oh ya, kasihan saja, Bang." Suara Ibu tetap tenang.
Aku
tidak melihat suatu perubahan pada air mukanya. Ucapannya sesuai dengan
kata hatinya.Nenek menuju kamar yang ditempati ayah dan ibu. Sambil
berkacak pinggang, dia membentak, "Segera keluarkan ranjang jati itu!"
Hari
itu kakek sedang ke kota Palembang menemui sahabatnya, seorang
pedangang tembakau yang kaya raya. Mereka akan kerja sama mendirikan
perusahaan angkutan.
Ayah
membongkar ranjang jati yang mereka pakai sejak menikah 10 tahun yang
lalu. Aku pun lahir di ranjang itu. Ibu melipat selimut dan kain seprei
tanpa rasa masgul, tanpa sakit hati, karena ranjang jati yang bagus itu
memang bukan kepunyaan ibu dan ayah.
"Kakek kan baik pada Ibu."
"Semua isi rumah ini baik pada kita, Nak."
"Nenek?"
"Nenekm pun baik."
"Nenek ..., baik. Bu?" desakku.
"Memang baik, Man."
Aku tegang. Di mana pun berada ibuku tidak pernah menjelek-jelekkan mertuanya.
Dikutip dari Kumpulan Cerpen Ibu,
pengarang Aksara
Demikianlah yang dapat admin bagikan tentang cara mengidentifikasi unsur-unsur pembangun teks cerpen. Semoga apa yang admin bagikan ini bermanfaat buat kemajuan belajar anak didik di sekolah. Selamat belajar, semoga bermanfaat, dan terima kasih.