Contoh Pengubahan Cerpen Menjadi Naskah Drama

ilmubindo.com | Kali ini admin akan bagikan kepada kalian bagaimana contoh teks cerpen kita ubah ke dalam bentuk teks drama. Semoga bermanfaat dan dapat menambah wawasan kalian di dalam mengubah teks tertentu ke dalam teks lain. Salah satunya adalah teks cerpen akan kita ubah kedalam teks drama. 

www.ilmubindo.com

Contoh Teks Cerpen

Sampai di rumah aku menyelinap agar ibu tak tahu aku pulang sekolah sore ini. Tapi, betapa terkejutnya aku melihat mobil ayahku terparkir di depan teras rumah. Mengapa secepat ini ayah pulang? Biasanya ia pulang sehabis magrib.
Perasaanku tidak enak. Aku mencoba tenang dan terus melangkah ke kamarku. Tapi ketika aku akan membuka pintu kamarku.
"Ajeng!" suara berat ayahku begitu menggelegar. Aku tetap tenang.
"Dari mana kau!"
"Dari rumah teman."
Terdengar gemeletuk gigi ayah, tapi tak ada rasa takut sedikit pun di hatiku.
"Kau....sejak kapan kau kuizinkan keluar dari rumah ini...."
"Apakah salah kalau aku ingin berteman, Ayah? apakah salah
aku ingin melihat dunia luar? Ayah tak bisa terus-menerus
mengekangku dan melarangku untuk keluar rumah ini.
Apakah harus ..." plak! plak!
Aku tersungkur beberapa meter dari tempat ayah berdiri.
Kurasakan pipiku perih Ibu dan kakakku menghampiriku dan ingin membantuku berdiri, tetapi ayah melarang.
"Jangan,jangan kalian bantu anak durhaka itu! Kau anak durhaka! Tidak tahu terima kasih! Sekarang juga kau kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini!"

Perubahan cerpen di atas menjadi naskah drama seperti di bawah ini.

Contoh Teks Drama

(Pada sebuah rumah orang kaya, seorang gadis sedang berjalan mengendap-endap menyelinap ke dalam rumah, ada ekpresi terkejut pada gadis itu ketika memandang ke teras rumah, gadis itu melangkah ke kamar dan tangannya memegang gagang pintu kamar)
Ayah : (Membentak dengan suara berat) "Ajeng!!"
Ajeng : (Membalikkan badan ke arah ayahnya dan mencoba tetap tenang)
Ayah : "Dari mana kau!!" (Dengan tetap membentak)
Ajeng : "Dari rumah teman"
Ayah : (Menggemeletukkan gigi) " Kau, sejak kapan kau kuizinkan keluar dari rumah ini ..."
Ajeng : (Tenang tetapi sedikit menghiba) "Apakah salah kalau aku ingin berteman, Ayah? Ayah tak bisa terus-menerus melarangku untuk keluar rumah ini. Apakah harus..."
Ayah : (Menempeleng pipi ajeng dengan tangan kanannya ke pipi kanan dan kiri)
Ajeng : (Terhuyung dan tersungkur beberapa meter dari posisi ayahnya sambil meraba pipinya mencoba untuk berdiri, ibunya dan kakaknya berusaha untuk mendekatinya dan dicegah oleh ayahnya)
Ayah : (Sambil merentangkan kedua tangannya, untuk menghalangi langkah anak dan istrinya mendekati ajeng) "Jangan, jangan kalian bantu anak durhaka itu!
Kau anak durhaka! (Menunjuk dan menatap tajam ke arah ajeng) Sekarang juga kemasi barang-barangmu dan pergi dari sini! (Telunjuknya menunjuk ke arah pintu)

Contoh Soal Latihan

Buatlah ke dalam contoh teks drama cerpen di bawah ini!

GUNUNG KIDUL

Angin tajam sekali. Kelam menyelimuti teratak doyong itu. Dingin mengempa. Di tengah kemurungan suasana itu, ada hidup di dalam teratak yang ada cahayanya. Teratak itu hanya mempunyai satu ruangan. Tidak ada sekat-sekatnya. Mejanya persis di tengah dengan sebuah kursi panjang bambu. Di sudut tenggara, lantai dari tanah: becek di sekitar tempat sebauh gentong berdiri.
Pada sudut itu disisipkan tiga buah piring seng dan sebuah sendok yang kekuning-kuningan. Pada susdut barat daya, sebuah peti ukuran 1 X 1 X 1 m kubik yang terbuka: sebuah peti beras yang di dalamnya putih, tapi kosong. Hanya ada kutu-kutu yang berkeliaran tak tentu tujuan. Di dekatnya, ada sebuah perapian yang tidak ada apinya. Ada dua potong cabang yang ditusukkan ke dalam lubangnya. Di atasnya, ada kendil hitam yang kosong. Agak jauh sedikit, ada sebuah pengki yang bambunnya sudah busuk. Isinya rumah bekicot yang pecah-pecah, dagingnya sudah hilang.
Lampu yang terbuat dari botol pomade dengan sumbu dan minyak, menerangi segenap sudut teratak. Juga sudut barat laut. Di sana, ada sebuah bale-bale juga doyong yang di hampari tikar yang lubang-lubangnya sebesar kepala manusia. Di atas bale-bale itulah, Mbok Kromo mengelon Atun, anaknya yang berumur 5 tahun.
"Mbok, maem Mbok, maem," kata anak kecil itu berulang-ulang dan tidak mau tidur. Kemudian ibunya mulai menceritakan lago ongeng "Joko Kendil", yang terlepas dari sengsara dan menjadi orang yang tampan, mujur, kaya, dan bahagia. Tetapi setiap kali ia berhenti bercerita, anaknya merengek-rengek lagi minta makan. Mbok Kromo membayangkan kendilnya di sudut rumah yang kosong.
"Mbok, Bapak mana?" tanya anak itu mengalihkan pertanyaan.
"O, Bapak mencari Joko Kendil. Nanti, ia akan pulang membawa kendil yang berisi nasi."
Anak itu tersenyum puas mendengar kata nasi digabungkan dengan Joko Kendil, pahlawannya. Kemudian, ia mengerak-gerakkan kakinya sambil bermain-main dengan tetek ibunya yang kendur dan kering itu.
Sebentar-bentar, ia menguap, tetapi perutnya tak mengizinkan matanya terkatup. Apalagi ia teringat lagi hal itu, ia mulai lagi merengek-rengek, "Mbok, maem!"
Ibunya menceritakan dongeng Timin Mas, anak gadis seperti Atun yang melarikan diri dari kejaran "buto ijo" dengan membawa tiga benda sakti, yang jika dilemparkan, berubah jadi rintangan yang menghambat dan akhirnya membinasakan raksasa galak itu. Akhirnya di cerita itu ialah Timun Mas kawin dengan pangeran negerinya dengan pesta besar-besaran dengan perjamuan makan lezat dan minum yang segar seperti kelapa muda.
Atun sudah puas sejurus lamanya mengenangkan makanan dan minuman yang enak-enak yang dihidangkan pada pesta perkawinan Timun  Mas. Akan tetapi beberapa saat kemudian, ia mulai lagi mengulangi pertanyaan yang lama, "Mbok, Bapak mana, Mbok?" Maka jawab Mbok Kromo dengan sabar, "O, Bapak pergi ke pesta Timun Mas. Nanti ia pulang membawa berkatan nasi kuning dengan nasi-nasi lezat. Daging gule kambing yang penuh lemak; bukan daging keong yang liat dan apak."
Atun sangat gembira mendengar janji ibunya itu dan makin ribut ia mengerak-gerakkan kakinya sambil memilin-milin puting buah dada ibunya yang lembek. Tetapi akhirnya, ia minta makan juga sambil menguap-nguap mengantuk. Tak lama kemudian dengan sabar ibunya mencoba mengalihkan perhatian anaknya dengan dongeng Si Kancil Cerdik yang diterkam oleh harimau, tetapi dapat menyelamatkan dirinya, karena sedang mengaku menjaga kuil dodol Nabi Sulaiman, padahal yang ada di dekatnya itu tahi kerbau. Pada akhir cerita itu, Atun sudah tidak dapat mengatasi kantuknya lagi dan tertidur sambil berpengan pada ibunya dan mengular kedinginan. Sebentar-sebentar, kesunyian teratak itu diselingi bunyi perut yang menggiling dengan sia-sia.
Desa Padas termasuk daerah yang aman. sebagaimana adat di desa, senantiasa diadakan penjagaan malam juga oleh penduduknya sendiri. Pada jam 12 tengah malam, Simin dan Paidin jaga digardu di sudut desaitu. Mereka sudah membicarakan selamatan yang terakhir diadakan empat bulan sudah mereka tidak diundang keselamatan pada jaman paceklik ini?
Tiba-tiba bulu mereka berdiri, percakapan mereka tercekik oleh ketakutan. Burung kulik-kulik berbunyi sebentar-bentar dengan irama teratur.
"Kulik-kulik, kulik-kulik, kulik-kulik."
Kesunyian sangat menekan ketika burung malam itu berhenti berbunyi. Simin menyentuh bahu Paidin, "Mari jalan-jalan sebentar," ajaknya,"Kalau ada apa-apa kita disalahkan nanti."
"Bagaimana kalau betul ada maling?" tanya Paidin.
Simin berpikir sebentar, tangannya bergerak-gerak kosong seolah-olah mencari senjata.
"Kalau ada pencuri kita berteriak, "Maling, maling!" sampai orang-orang semua keluar. Kalau sudah kita kejar beramai-ramai," katanya kemudian.
Kemudian mereka berjalan dengan hati-hati sambil melemparkan pandangan jalan ke kanan dan ke kiri. Demikian besar kepercayaan mereka pada burung kulik-kulik sehingga mereka tidak heran ketika mendapati seorang laki-laki sedang mencabuti ketela Pak Sardi. Dengan suara mengigil mereka berteriak, "Maling! Maling! Maling!" dan dalam sekejap mata saja desa yang tentram dan damai itu penuh dengan laki-laki yang keluar membawa senjata pukul dan senjata tajam. Pencuri itu berlari sekuat-kuatnya dikejar oleh Simin dan Paidin pada jarak yang cukup. Tetapi akhirnya, seluruh desa berlari di belakang sambil menghamburkan kutukan-kutukan dan maki-makian yang di dalam keadaan biasa akan membuat Tuhan murka.
Pemburuan itu tidak lama karena tepat pada pekarangan Pak Kromo, pencuri itu terhuyung-huyung lalu rebah ke tanah. Sebagai air anak sungai yang terjun ke induknya, laki-laki yang banyak itu membanjiri ke tempat pencuri itu jatuh dan mulai menghantam senjata-senjata tumpulnya ke tubuh yang terengah-engah lemah itu. Semua orang mau ikut ambil bagian dalam pemukulan itu. Mereka yang membawa golok, menyisipkannya pada ikat pinggangnya lalu meminjam kayu yang dibawa oleh temannya, dan sambil mencetuskan bunyi 'hih" menjatuhkannya dengan bunyi kelapa jatuh ke badan yang sudah tak bergerak sama sekali itu. Lama-kelamaan setelah hampir seluruh desa mendapat giliran memukul, mereka insaf bahwa orang itu tak bergerak lagi.
"Coba kita lihat apa dia masih hidup," kata Simin dengan khawatir.
"Ya, mari!" kata banyak orang menyambutnya.
"Mari kita minta lampu kepada Pak Kromo!" ada seorang yang mengusulkan. Dan beberapa orang menuju ke pinti Pak Kromodan mengatakan "Kulo Nuwun!"
Pintu Pak Kromo dibukakan sedikit. "Pencurinya sudah tertangkap?" tanya dengan cemas.
"Sudah, itu dia terbaring di tanah kami pukuli. Ia mencuri ketela Pak Sardi. Sampai ia jatuh, ketela itu tidak dilepas-lepaskannya.
Pak Kromo apa tidak ada di rumah? Kami mau pinjam lampu untuk melihat siapa maling itu."
"Bapak pergi tadi sore sampai sekarang belum kembali. Tetapi, lampunya boleh dibawa." Ketika itu Atun merengek-rengek minta digendong. Ia terbangun oleh keributan yang terjadi di dekatnya itu. Dengan menggendong Atun, Mbok Kromo menggikuti orang-orang yang membawa lampunya menuju ke tempat orang-orang itu berkerumun.
Orang-orang menyingkir untuk memberi jalan kepada pemuda yang membawa lampu. Di dalam cahaya lampu itu, tampak badan pencuri itu bengkak, robek-robek serta berlumuran darah, keringat, dan tanah. Orang-orang yang berdekatan menelantangkannya. Lampu itu menyinari wajahnya yang menyeringai menakutkan. Semua orang yang melihat mundur selangkah.
"Ya Allah! ini Pak Kromo!" Kesunyian yang berat menyusul seruan yang menggemparkan itu. Kemudian," Ia sudah mati."
Simin dan Paidin menjauh tak tahan. Namun, mereka juga mendengar ratap Mbok Kromo yang sedang menangis dan mencabuti rambutnya yang terurai, dikelilingi laki-laki yang wajahnya penuh belas kasihan. Semua kayu telah dilemparkan jauh-jauh dan semua pisau dan golok disisipkan di belakang. Tetapi mengatasi suara ibunya, Atun menangis," Bapak, Bapak!"
Keesokan harinya, seluruh desa mengantarkan jenazah Pak Kromo ke kuburan.
2-5-1953
Nogroho Notosusanto, tiga kota

Demikianlah yang dapat admin bagikan tentang contoh pengubahan cerpen menjadi naskah drama. Semoga apa yang admin bagikan ini bermanfaat buat kemajuan belajar anak didik di sekolah, khusus materi mengubah teks cerpen ke dalam teks drama. Semoga bermanfaat dan terima kasih.